Disleksia (bahasa Inggris: dyslexia) adalah sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada orang tersebut dalam melakukan aktifitas membaca dan menulis.
Perkataan disleksia berasal dari bahasa Yunani δυς- dys- ("kesulitan untuk") dan λέξις lexis ("huruf" atau "leksikal").
Pada umumnya keterbatasan ini hanya ditujukan pada kesulitan seseorang dalam membaca dan menulis, akan tetapi tidak terbatas dalam perkembangan kemampuan standar yang lain seperti kecerdasan, kemampuan menganalisa dan juga daya sensorik pada indera perasa.
Terminologi disleksia juga digunakan untuk merujuk kepada kehilangan kemampuan membaca pada seseorang dikarenakan akibat kerusakan pada otak. Disleksia pada tipe ini sering disebut sebagai "Alexia". Selain mempengaruhi kemampuan membaca dan menulis, disleksia juga ditenggarai juga mempengaruhi kemampuan berbicara pada beberapa pengidapnya.
Disleksia tidak hanya terbatas pada ketidakmampuan seseorang untuk menyusun atau membaca kalimat dalam urutan terbalik tetapi juga dalam berbagai macam urutan, termasuk dari atas ke bawah.
Tidak semua anak disleksia memperlihatkan seluruh gejala, yang mencirikan adanya disleksia ringan, sedang, hingga berat.
Sebagian ahli membagi disleksia sebagai visiual, disleksia auditori dan disleksia kombinasi (visual-auditori). Sebagian ahli lain membagi disleksia berdasarkan apa yang dipersepsi oleh mereka yang mengalaminya yaitu persepsi pembalikan konsep (suatu kata dipersepsi sebagai lawan katanya), persepsi disorientasi vertical atau horizontal (huruf atau kata berpindah tempat dari depan ke belakang atau sebaliknya, dari barisan atas ke barisan bawah dan sebaliknya), persepsi teks terlihat terbalik seperti di dalam cermin, dan persepsi di mana huruf atau kata-kata tertentu jadi seperti “ menghilang.”
Siapa saja yang dapat mengalami disleksia?
Siapa saja, tanpa memandang jenis kelamin, suku bangsa atau latar belakang sosio-ekonomi-pendidikan, bisa mengalami disleksia, namun riwayat keluarga dengan disleksia merupakan factor risiko terpenting karena 23-65% orangtua disleksia mempunyai anak disleksia juga.
Pada awalnya anak lelaki dianggap lebih banyak menyandang disleksia, tapi penelitian – penelitian terkini menunjukkna tidak ada perbedaan signifikan antara jumlah laki dan perempuan yang menglami disleksia. Namun karena sifat perangai laki-laki lebih kentara jika terdapat tingkah laku yang bermasalah, maka sepertinya kasus disleksia pada laki-laki lebih sering dikenali dibandingkan pada perempuan.
Bisa sembuh kah?
Penelitian retrospektif menunjukkan disleksia merupakan suatu keadaan yang menetap dan kronis. “Ketidak mampuannya” di masa anak yang nampak seperti “menghilang” atau “berkurang” di masa dewasa bukanlah kareana disleksia nya telah sembuh namun karena individu tersebut berhasil menemukan solusi untuk mengatasi kesulitan yang diakibatkan oleh disleksia nya tersebut.
Mengingat demikian “kompleks”nya keadaan disleksia ini, maka sangat disarankan bagi orang tua yang merasa anaknya menunjukkan tanda-tanda seperti tersebut di atas, agar segera membawa anaknya berkonsultsi kepada tenaga medis profesional yang kapabel di bidang tersebut. Karena semakin dini kelainan ini dikenali, semakin “mudah” pula intervensi yang dapat dilakukan, sehingga anak tidak terlanjur larut dalam kondisi yang lebih parah.
Apa yang dapat dilakukan
• Adanya komunikasi dan pemahaman yang sama mengenai anak disleksia antara orang tua dan guru
• Anak duduk di barisan paling depan di kelas
• Guru senantiasa mengawasi / mendampingi saat anak diberikan tugas, misalnya guru meminta dibuka halaman 15, pastikan anak tidak tertukar dengan membuka halaman lain, misalnya halaman 50
• Guru dapat memberikan toleransi pada anak disleksia saat menyalin soal di papan tulis sehingga mereka mempunyai waktu lebih banyak untuk menyiapkan latihan (guru dapat memberikan soal dalam bentuk tertulis di kertas)
• Anak disleksia yang sudah menunjukkkan usaha keras untuk berlatih dan belajar harus diberikan penghargaan yang sesuai dan proses belajarnya perlu diseling dengan waktu istirahat yang cukup.
• Melatih anak menulis sambung sambil memperhatikan cara anak duduk dan memegang pensilnya. Tulisan sambung memudahkan murid membedakan antara huruf yang hampir sama misalnya ’b’ dengan ’d’. Murid harus diperlihatkan terlebih dahulu cara menulis huruf sambung karena kemahiran tersebut tidak dapat diperoleh begitu saja. Pembentukan huruf yang betul sangatlah penting dan murid harus dilatih menulis huruf-huruf yang hampir sama berulang kali. Misalnya huruf-huruf dengan bentuk bulat: ”g, c, o, d, a, s, q”, bentuk zig zag: ”k, v, x, z”, bentuk linear: ”j, t, l, u, y”, bentuk hampir serupa: ”r, n, m, h”.
• Guru dan orang tua perlu melakukan pendekatan yang berbeda ketika belajar matematika dengan anak disleksia, kebanyakan mereka lebih senang menggunakan sistem belajar yang praktikal. Selain itu kita perlu menyadari bahwa anak disleksia mempunyai cara yang berbeda dalam menyelesaikan suatu soal matematika, oleh karena itu tidak bijaksana untuk ”memaksakan” cara penyelesaian yang klasik jika cara terebut sukar diterima oleh sang anak.
• Aspek emosi. Anak disleksia dapat menjadi sangat sensitif, terutama jika mereka merasa bahwa mereka berbeda dibanding teman-temannya dan mendapat perlakukan yang berbeda dari gurunya. Lebih buruk lagi jika prestasi akademis mereka menjadi demikian buruk akibat ”perbedaan” yang dimilikinya tersebut. Kondisi ini akan membawa anak menjadi individu dengan ”self-esteem” yang rendah dan tidak percaya diri. Dan jika hal ini tidak segera diatasi akan terus bertambah parah dan menyulitkan proses terapi selanjutnya. Orang tua dan guru seyogyanya adalah orang-orang terdekat yang dapat membangkitkan semangatnya, memberikan motivasi dan mendukung setiap langkah usaha yang diperlihatkan anak disleksia. Jangan sekali-sekali membandingkan anak disleksia dengan temannya, atau dengan saudaranya yang tidak disleksia.
Referensi :
• J.H. Menkes, H.B. Sarnat B.L. Maria (2005). Learning disabilities, dalam: JH. Menkes, HB. Sarnat (penyunting). Child neurology, edisi ke-7. Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia.
• Sally, Shaywitz, Bennett (2006). Dyslexia, dalam: KF. Swaiman, S. Ashwal, DM. Ferreier (penyunting). Pediactric neurology principles and practice, volume 1, edisi ke-4, Mosby, Philadelphia
• S. Devaraj, S. Roslan (2006). Apa itu disleksia, panduan untuk ibu bapa, guru, dan kaunselor, dalam S. Amirin (penyunting). PTS Profesional, Kuala Lumpur.
• G. Reid (2004). Dyslexia: A complete guide for parents. John Wiley and Sons, Ltd, England
• R. Frank (2002). The secret life of dyslexic child, a practical guide for parents and educators. The Philip Lief Group, Inc, 2002.
Terapi Baru bagi Penderita Disleksia
JAKARTA - Ahli medis menemukan terapi baru bagi para penderita disleksia alias kesulitan membaca dan menulis. Anak yang menderita disleksia sama sekali tidak bodoh. Sebab banyak penderita disleksia yang akhirnya menjadi orang sukses.
Kemampuan membaca dan menulis kerap menjadi acuan para orangtua dalam mengontrol kepandaian anaknya. ”Sudah bisa baca apa belum?” Demikian pertanyaan yang sering diajukan kepada seorang anak yang sudah mulai memasuki usia sekolah. Anak yang sudah bersekolah dan belum bisa lancar membaca dianggap bodoh atau tertinggal. Padahal bisa saja anak itu menderita disleksia, yakni gangguan membaca dan menulis akibat kelainan pada otak.
Jika pada anak normal kemampuan membaca sudah muncul sejak usia enam atau tujuh tahun, tidak demikian halnya dengan pasien disleksia. Sampai usia 12 tahun kadang mereka masih belum lancar membaca dan menulis. Bahkan sampai usia dewasa sekalipun mereka masih mengalami gangguan keduanya. Biasanya gangguan ini berupa kesalahan eja yang dilakukan terus-menerus secara konsisten. Seperti misalnya kata ”gajah” ducapkan menjadi ”gagah”. Atau kata ”pelajaran” menjadi ”perjalanan”. Belum pernah dicatat berapa tepatnya penderita disleksia di Indonesia karena memang kebanyakan orang tua tidak menyadarinya. Namun di Amerika Serikat (AS) sendiri ada lebih dari 40 juta orang, baik dewasa maupun anak-anak.
Kontroversial
Seorang jutawan pebisnis AS, Wynford Dore, juga mempunyai seorang anak perempuan yang menderita disleksia. Bahkan anak tersebut mulai mengalami depresi dan frustasi akibat tak bisa membaca dan menulis seperti anak seusianya. Akhirnya Dore mendirikan Dore Achievement Centers, sebuah yayasan yang merekrut semua ahli psikologi AS untuk khusus mempelajari ihwal disleksia. Yayasan ini akhirnya menemukan sebuah metode pengobatan yang terbilang baru dan kontroversial. Metode yang diklaim sudah membantu sebanyak 16.000 penderita disleksia sampai Inggris dan Australia ini berteori bahwa anak disleksia memiliki kekurangan pada aktivitas bagian otak yang bernama serebelum. Berlokasi di dasar otak, serebelum mengandung 50 persen sel saraf otak. Metode yang diajukan Dore adalah merancang latihan rutin setiap individu untuk menstimulasi daerah otak ini dengan sejumlah pembelajaran. Riset ini didukung oleh sejumlah ahli neurologi dari seantero AS. Namun tak semua setuju dengan metode tersebut.
”Apakah memang ada bukti bahwa aktivitas serebelum terlibat dalam kemampuan anak untuk membaca atau setidaknya menjadi pembaca yang lebih baik? Saya belum melihat bukti yang pasti,” komentar Prof. Sallu Shaywitz, psikolog dari Yale University, penulis Overcoming Dyslexia dan salah seorang ahli pengobatan disleksia seperti yang dilansir ABCNews Online baru-baru ini.
Shaywitz juga memperingatkan bahwa dibandingkan dengan terapi lain, program Dore menawarkan metode yang kurang penting. Cara seperti melakukan latihan untuk mengatasi masalah membaca sudah dipakai sejak lama, bahkan beberapa dekade silam. Versi terbaru dari teknik ini membutuhkan standar yang lebih tinggi.
Namun Dore berkeras bahwa terapi pengobatannya lumayan berhasil baik. ”Klien kami sering mengatakan bahwa mereka tak lagi mengalami gejala disleksia, mereka berhasil diobati,” ujarnya. Contoh pasien mereka adalah Michael dan Adam, anak usia 12 dan tujuh tahun yang mengikuti program tersebut selama 13 bulan dan telah menghabiskan biaya sekitar 4.000 dolar Amerika. Mereka mengikuti latihan seperti berdiri di atas papan bergoyang, melempar kantung dan mengayunkan bola selama sepuluh menit dua kali sehari. Kemampuan mereka memang mengalami peningkatan, terutama dalam hal membaca, sains dan matematika, subjek pelajaran yang kerap kurang mampu dipahami penderita disleksia. Menurut orang tua mereka, kepercayaan diri anak-anaknya juga mulai meningkat setelah mengikuti terapi.
Sebenarnya, apa itu disleksia? Seseorang yang menderita disleksia mengalami kesulitan dalam belajar membaca. Kelainan ini mungkin disebabkan oleh ketidakmampuan dalam menghubungkan antara lisan dan tertulis, atau kesulitan mengenal hubungan antara suara dan kata tertulis. Anak yang menderita disleksia yang belum diketahui, dapat merasa rendah diri karena kesulitan yang dialami dalam mengejar pelajaran dengan kawan-kawan sebaya. Kadang-kadang orang salah menduga bahwa anak yang menderita disleksia juga cacat jiwa.
Mayoritas Lelaki
Kalau seorang anak ditemui mulai punya kebiasaan membaca terlalu cepat hingga salah mengucapkan kata atau bahkan terlalu lambat dan terputus, maka itu adalah gejala disleksia. Sampai sekarang masih belum diketahui secara pasti apa penyebab gangguan ini. Yang jelas sebagian besar neurolog berpendapat ini merupakan faktor saraf atau otak, sama sekali bukan karena anak itu bodoh atau bahkan idiot seperti mayoritas pendapat orang.
Istilah disleksia berasal dari bahasa Yunani, yakni ”dys” yang berarti ”sulit dalam” dan lex (berasal dari legein, yang artinya ”berbicara”). Jadi, menderita disleksia berarti menderita kesulitan yang berhubungan dengan kata atau simbol-simbol tulis. Walau tidak menjalani pengobatan khusus, seorang penderita disleksia tidak akan selamanya menderita gangguan membaca dan menulis. Ketika pertumbuhan otak dan sel otaknya sudah sempurna, ia akan dapat mengatasinya.
Yang unik, sebagian besar penderita disleksia adalah kaum lelaki. Dr. Michael Rutter dari King’s College, London membuktikan bahwa jumlah murid lelaki di sekolah yang menderita disleksia setidaknya dua kali jumlah murid perempuan. Rutter dan rekan telah menganalisis lebih dari 10.000 anak-anak di Selandia Baru yang diikutkan dalam uji membaca standar. Usia anak-anak itu berkisar antara 7-15 tahun. Disleksia ditemukan pada 18 hingga 22 persen murid lelaki. Sedangkan pada murid perempuan hanya sekitar 8-13 persen saja.
Masih perlu dilakukan riset lanjutan untuk mengetahui penyebabnya. Namun berdasar diagnosis, gangguan kemampuan membaca pada anak lelaki disebabkan oleh kecenderungan mereka untuk bertingkah aneh-aneh dalam kelas ketika merasa frustasi pada pelajaran. Hasil temuan Rutter ini dipublikasikan dalam Journal of the American Medical Association, edisi terbaru.
Tapi kesimpulan tersebut ditepis oleh Sheldon Horowitz, direktur National Center for Learning Disabilities, berkomentar bahwa anak lelaki sesungguhnya tidak cenderung menderita disleksia.
Adakah yg tau atau punya anak disleksia????
No comments:
Post a Comment